Pemimpin Kristen tentu tidak terisolasi dari pergaulan sosial. Tetapi pemimpin Kristen justru menjadi bagian dari kehidupan sosial. Pemimpin Kristen memiliki peranan yang sangat strategis dalam percaturan sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, pemimpin Kristen perlu memanejemeni hubungan yang bersifat pribadi dan sosial dalam kepemimpinan. Hal ini penting guna mencipta situasi responsif sebagai landasan untuk mewujudkan proses upaya memimpin yang berkualitas.
Memanejemeni hubungan dalam hal ini adalah upaya untuk membangun jejaringan sosial yang harmonis, terbuka, lugas dan dinamis. Melalui jejaringan sosial seperti inilah pemimpin dapat menjalankan kepemimpinannya dengan menggerakkan orang yang dipimpin secara proporsional sehingga mereka dapat mewujudkan performansi tinggi.
Sebagai landasan pijak untuk membangun hubungan responsif ini, perlulah disadari bahwa kepemimpinan berkaitan erat dengan sistem sosial atau masinesasi sosial dengan orientasi kemanusiaan yang kuat yang diwadahkan oleh organisasi. Di sini pemimpin bertanggung jawab untuk mencipta hubungan-hubungan kondusif yang akan beroperasi bagaikan mesin.
Dalam hubungan ini, manusia harus diperlakukan sebagai manusia, dimana hubungan perlakuan ini dengan sendirinya akan meneguhkan sikap pemimpin guna mencipta hubungan responsif di antara pemimpin, staf dan para bawahan. Hubungan responsif inilah yang menandakan adanya dinamika tinggi yang menggerakkan kehidupan organisasi. Dasar-dasar untuk meneguhkan pemimpin guna mencipta hubungan responsif ini dapat ditetapkan sebagai berikut ini.
Pertama, Pemimpin harus melihat sesama sebagai “mitra sewaris,” dengan status diri dan perannya yang sama sebagai “sesama pelayan, sesama hamba” (Matius 20:26-27; Markus 10:43-44; Lukas 17:10; I Korintus 3:9a). Di sini, sesama bagi pemimpin harus disikapi sebagai subjek, yang perlu diperlakukan dengan penuh penghargaan dengan menerima serta mengakui kompetensi, kapasitas dan andilnya bagi keberhasilan kepemimpnan.
Kedua, Pemimpin harus memperlakukan sesama sebagai “pewaris keberhasilan bersama,” dengan sepenuhnya membangun hubungan di atas kepercayaan (trust) yang sama-sama memiliki tanggung jawab bagi keberhasilan bersama dengan komitmen pengabdian bersama yang tinggi bagi keberhasilan kerja organisasi (Filipi 2:2-4; I Petrus 5:2). Dalam upaya menerapkan sikap ini, pemimpin harus menghargai potensi, kapasitas, cara kerja dan peran, serta kontribusi bawahan, yang olehnya mereka semakin merasa dilibatkan dan dipercayai sebagai pewaris keberhasilan bersama.
Ketiga, Pemimpin harus menjadi model dalam kehidupan etika-moral dan kinerja (benar, baik, sehat) dengan semangat juang tinggi (compelling spirit), sebagai pemimpin panutan dan pemimpin bertanggung jawab, yang berorientasi kepada membawa keuntungan (keberhasilan) bersama (Ibrani 13:7, 17; I Petrus 5:3-4; Nehemia 2:20).
Pemimpin yang menegaskan sikap dan orientasi seperti ini akan mewadahkan situasi kondusif bagi organisasinya, dimana staf dan bawahan akan merasa “memperoleh tempat layak dengan andil yang sama” dalam kepemimpinan, karena penghargaan, kepercayaan dan keteladanannya.
Kondisi ini akan meneguhkan semua unsur manusia guna mematutkan sikap terhadap sesama, dan tugas, yang ditandai oleh adanya hubungan responsif berlandaskan kesadaran bahwa keberhasilan organisasi adalah keberhasilan bersama. Kesadaran ini hanya akan terwujud dengan adanya komitmen semua kompenen manusia kepada pengabdian serta kinerja berkualitas dan disiplin tinggi, yang olehnya akan tercipta sinergi yang saling mendukung dengan gerakan kerja yang simultan bagi keberhasilan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar